Tik..tik…
Satu dua titik air mataku jatuh menghampiri lembaran kosong yang sejak tadi kupandangi dengan lamunan yang tak akan pernah kulupakan. Bukan melamun, hanya saja aku mengenang saat itu.
Saat-saat bersamanya, bersama beliau, bersama dia, bersama seorang yang patut untuk aku hormati dan sayangi. Temanku, guruku, kakakku dan satu lagi bersama pahlawan bertopengku- Aulia Mujiburrahman. Yach nama itu, terlalu sulit untuk kulupa ketika kaki ini hendak menghampiri teras ruangan kecil tersekap dibalik masjid pondok itu. Hanya kau yang mengerti betapa pentingnya ruangan kecil yang bagi orang sangatlah cocok untuk tempat menyimpan barang bekas.
“Ini kamar kedua kalian..!” ucapanya itu terbukti. aku lebih sering menghabiskan waktuku disana. Duduk menghadap computer dengan tangan yang terus mengerayapi keyboard computer. Tak terlupa dengan 14 kawan team Redaksi yang lainnya. Ada Ust. Rizal, yang biasa di panggil kak ijal, ada Qory, Itin, Nita, Omy, Eka, Iin, Novia, Mantil, Mif, Fina, Yuki, Ria dan Izza. Enam belas orang beserta aku dan beliau. Anak-anak yang selalu dibicarakan entah itu oleh orang yang iri maupun oleh orang yang kagum. Team Redaksi Catatan Dari Kampung Damai.
Tiada hari tanpa bersama dengan beliau, semua itu kami lewati dengan riang dan tawa, dengan tangis dan perlawanan. Semuanya ter-save dalam memory. Kapan lagi? Aku ingin kembali dalam rengkuhan itu, ingin kembali tertawa bersamanya.
Argh!!
Kenangan itu terputar…
Saat Muhadlarah [Latihan berpidato Santriwati]
Besok akan diterbitkan edisi selanjutnya, harus terbit. Itu pesan beliau.
Karena takut, semua team r\tak muhadlarah. Semua mengira, beliau akan setuju tapi ternyata sebaliknya. Beliau berceramah, menyuruh untuk lain kalinya harus ikut dengan alasan dia menyukai PIDATO.
Argh,,
Terlihat jelas tawanya saat itu, dia menakut-nakuti kami ternyata berbekal dengan tampangnya yang tidak pernah tersenyum atau bercanda seperti biasnya.
Hari terbit Mading
“Redaksi berkumpul!!”
Satu jam menunggu, baru semuanya berkumpul. Kebiasaan yang mungkin tidak bisa dipungkiri lagi. Santriwati yang paling lama kumpul adalah anak Redaksi, alasanya mereka semua suka berkhayal, jadi semua panggilan terabaikan.
Huh!
Beliau membuka perkumpulan hari itu, sama persis dengan mimic wjah malam itu. Marah dan kecewa.
“Karena kalian tidak menerbitkan madding hari ini, kalian saya hokum! Jalan dari ini..itu…”
Kuhitung perjalanan itu menghabiskan waktu 2 jam. Kami mengiyakan saja, dengan alasan semua takut. Semua diam tanpa kata, melewati jalan2 yang telah ditunjukkanya.
2 jam berlalu, sampai sudah. Dan siapa yang kami temukan duduk disana dengan 15 bungkusan es kelapa ditangannya? Beliau.
Senyum kemennagnya mengembang, diikuti dengan kak Ijal yang ikut tertawa terpingkal-pingkal sembari menyuruh mengikuti langkahnya yang memasuki jalan menuju taman kota.
Khutbatul Arsy
Seluruh santriwati diwajibkan mengikuti Apel dan Carnaval yang di adakan sekali setahun. Tapi apa yang dilakukan beliau? Beliau malah mengajak untuk menunggu saja di pemberhentian orang2 karnaval sembari menghabiskan jajan yang dibagikan panitia. Tapi semua diam saja karna yang duduk berbaju hitam disini adalah anak Redaksi. Yang protes silahkan! Hi..hi…
Hiks..hiks..
Kali ini aku benar-benar menangis, kenangan itu tak kunjung habis. Dan ketika ingatanku membentur satu kenangan yang yang tak ingin kubuka air mataku seolah berhenti, menahan rasa kehilangan yang memuncuk hingga ubun-ubun. Semua itu terasa begitu cepat terjadi. Argh!! Akan kuceritakan..
Malam itu, beliau mengumpulkan kami diruang kecil itu. Semua hadir tanpa terkecuali, 3 hari sebelum hari diadakannya lounching buku kumpulan cerpen perdana Redaksi.
“Ada apa nich?”
“Iya.. khan ngumpulin tugesnya besok”
“Ada something..”
Itu segelintir kalimat kawan-kawanku setelah menunggu begitu lama. Sementara beliau hanya tersenyum dengan pandangan yang sulit diartikan. Matanya memandang satu persatu wajah kami, tak pernah sekalipun beliau seperti itu.
“Ayo dong ustad!” itu Ria yang berkomentar, duduk di depan laptop layouternya. Dan seperti tersadar, beliau mengangguk. Bibirnya mulai berucap.
“Lounchingnya kapan jadi?”itu kalimat pertamanya.
“Mulanya khan tanggal 9 tapi diundur katanya ustad Hasan..” itu kak Eka, pimpinan Redaksi yang berucap.
“Wah..kenapa?” ada raut kesedihan diwajahnya.
“Nggak tahu juga” kembali Kak Eka yang menjawab.
Belia berikir sejenak, menimbulkan pertanyaan masing-masing dari kepala seluruh team Redaksi.
“Mangnya kenapa Ustad?” begitu salah satunya.
“Kalau tanggal lain, ustd gak bisa” ucapnya lirih disertai dengan senyum simpul beratnya.
“Kenapa?” Omy
“Kenapa?”Izza
“Kenapa?” Aku
“Wah jangan gitu dong kak Ujieb, masa’ lebih mentingin yang lain dari pada sesuatu yang berharga ini.. nanti yang jadi tilawah siapa?” kak Qory bertutur dengan candaan khasnya, semua tertawa tak terkecuali dengan beliau.
“Iya ustad, nggak dapet masuk tv ntar.. khan wartawan Lombok TV mau dating tuch..”
Ha..ha…ha…
Ruangan membahana dengan tawa.
“Kalau bukan tanggal 9, ustad gak bisa dating dah” beliau mengulang kalimatnya.
“Makanya kenapa?” Kak Itin memperjelas, jengkel sudah. Yang benar saja beliau tidak datang di acara yang lahir dari ide beliau sendiri.
“Ustad mau pergi”
“Kemana?” sermpak berucap.
“Ede tida bole tau kalian, rahasia..” kalimat khasnya keluar. Kalimat memakai logat bahasa sumbawa. Tawa kembali terdengar.
“Serius dong!” aku tak sabaran.
“Pokoknya, Ada dee…hi..hi..”
Yach, beliau memang merahasiakan kepergiannya. Hingga sampai adzan magrib keesokan harinya rahasia kepergiannya terungkap dengan jelas. Beliau memang pergi, pergi kesuatu tempat yang sangat jauh. Suatu tempat yang tidak mungkin dijangkau oleh sembarangan orang. Beliau menuju ke jembatan menuju surga Firdaus-Nya. Beliau telah pergi untuk selamanya.
Innalillahiwainna ilaihirojiun
Semuanya beliau tinggalkan dengan cepat, dengan kilatan jarum jam yang berputar.
Meninggalkan ruangan yang seharusnya terisi tawa, tapi kini dengan tangis.
Meninggalkan kalimat yang tak mungkin pernah terhapus yaitu MATI ADALAH KATA HENTI UNTUK SEBUAH KREASI.
Meninggalkan berjuta kenangan yang tak bisa tertampung diary ini.
Hanya kalimat selamat jalan dan iringan do’a yang sanggup terucap dari bibir kami, setelah sekian waktu kau curahkan seluruh ilmu dan pengetahuannya kepada kami.
Selamat jalan.
Guru, sahabat, teman, kakakku…
You always in my mind
In memoriam, Aulia Mujiburrahman. 4 Februari / 2004
RINDU BELIAU
19.19
EllyAjah
Posted in
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "RINDU BELIAU"
Posting Komentar
cOment yEa,,